Kamis, 26 Desember 2013

asuhan keperawatan sinusitis

KONSEP DASAR

1.      Anatomi Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun.



A.    Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
1.      Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2.      Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.
3.      Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

B.     Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.

C.    Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan dengan sinus sfenoid.

D.    Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

2.      DEFINISI
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lender sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang dibawahnya. Sinus paranasal adalah rongga-rongga yang terdapat pada tulang-tulang di wajah. Terdiri dari sinus frontal (di dahi), sinus etmoid (pangkal hidung), sinus maksila (pipi kanan dan kiri), sinus sphenoid (di belakang sinus etmoid). (Efiaty,2007)

3.      ETIOLOGI
Sinus paranasal salah satu fungsinya adalah menghasilkan lender yang dialirkan kedalam hidung, untuk selanjutnya dialirkan kebelakang kearah tenggorokan untuk ditelan ke saluran pencernaan. Semua keadaan yang mengakibatkan tersumbatnya aliran lendir dari sinus ke rongga hidung akan menyebabkan terjadinya sinusitis. Secara garis besar penyebab sinusitis ada 2 macam ,yaitu:
a.       Factor local adalah semua kelainan pada hidung yang dapat mengakibatkan terjadinya sumbatan ;antara lain infeksi, alergi, kelainan anatomi, tumor, benda asing ,iritasi polutan dan gangguan pada mukosilia ( rambut halus pada selaput lendir).
b.      Factor sistemik adalah keadaan di luar hidung yang dapat menyebabkan sinusitis; antara lain gangguan daya tahan tubuh (diabetes, AIDS) ,penggunaan obat-obatan yang dapat mengakibatkan sumbatan hidung.

4.      MANIFESTASI KLINIS
a.       Hidung tersumbat
b.      Nyeri didaerah sinus
c.       Sakit kepala
d.      Hiposmia /anosmia
e.       Halitosis
f.       Post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak

5.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.      Pemeriksaan transilumasi (untuk sinus maksila dan sinus frontal)
Untuk mengetahui daerah gelap yang tampak pada daerah infraorbita, berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum.
b.      Pemeriksaan radiologi
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus para nasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologi.
c.       Pemeriksaan histopatologik
Dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinuskopi
d.      Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan ensdoskopi, dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi.
e.       Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan untuk mengetahui adanya meatus medinus dan meatus superior.

6.      PENATALAKSANAAN
Diberikan terapi medika mentosa berupa antibiotik selama 10-14hari,namun dapat diperpanjang sampai semua gejala hilang.antibiotik dipilih yang mencakup anerob,seperti penisilinV.klidamisin atau augmentin merupakan pilihan yang tepat bila penisilin tidak efektif.jika dalam 48-72jam tidak ada perbaikan klinis diganti dengan antibiotik untuk kuman yang menghasilkan beta laktamase,yaitu amoksisilin atau ampisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat.steroid nasal topikal seperti beklometason berguna sebagai antiinflamasi dan antialergi.Diberikan pula dekongestan untuk memperlancar drainase sinus.dapat diberikan sistemik maupun topikal.khusus yang topikal harus dibatasi selama 5hari untuk menghindari terjadinya rinitis medika mentosa.Bila perlu,diberikan analgesik untuk menghilangkan nyeri;mukolitik untuk mengencerkan sekret,meningkatkan kerja silia,dan merangsang pemecahan fibrin.Bila perlu dilakukan diatermi.diatermi dilakukan dengan sinar gelombang pendek sebanyak 5-6kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus.jika belum membaik,dilakukan pencucian sinus.Terapi radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase sinus yang terkena.untuk sinus maksila dilakukan operasi Cald well-Luc,sedangkan untuk sinus etmoid dilakukan edmoidektomi dari intranasal atu ekstra nasal.pada sinusitis frontal dilakukan secara intra nasal atau ekstra nasal (opersi killian).drainase sinus sfenoid dilakukan secara intranasal.







BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1.      PENGKAJIAN

A.    Sistem Muskolosekeletal
1)      Pergerakan sendi dan tulang dapat digerakkan secara normal.
2)      Inspeksi (pada bagian luar)
-        Perhatikan bentuk tulang hidung
-        Amati jika ada perubahan warna dan bengkak
3)      Palpasi
-        Amati jika ada rangsangan nyeri
Skala nyeri :    0 – 3 (ringan)
4  – 7 (sedang)– 10 (berat)
-        Adakah krepitasi pada tulang hidung (lakrimaris)

B.     Sistem Penglihatan
Pergerakan bola mata kadang-kadang dirasakan nyeri pada bola mata atau dibelakangnya dan nyeri akan bertambah bila mata digerakkan .

C.     Sistem Pernafasan :
1)      Inspeksi     : Amati, jika ada pembengkakan di daerah sekitar mata-mata
2)      Palpasi
-        Pada sinusitis frontal rasa nyeri terlokalisasi di dahi atau dirasakan nyeri di seluruh kepala
-        Rasa nyeri pada sinusitis sfenoid di verteks,oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid.
3)      Adanya gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba Eustachius
4)      Adanya nyeri/ sakit kepala pada pagi hari dan akan berkurang di siang hari
5)      Gejala saluran napas berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi di paru berupa asma bronkial sehingga terjadi penyakit sinobronkitis kadang-kadang gejala sangat ringan hanya terdapat sekret di nasofaring yang menganggu.

D.    Sistem kardiovaskuler:
Biasanya bunyi jantung normal,pola nadi normal

E.     Sistem Persyarafan :
1)      Gerakan reflek tubuh normal dengan GCS 456
2)      Sedangkan pada sistem syaraf (nervus) dipengaruhi oleh saraf penghidu nervus I, offaktorius jika terjadi kelainan pada sistem penghidu
F.      Sistem Pencernaan :
Adanya gejala pada saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis, sering terjadi pada anak
G.    Sistem Reproduksi :
Tidak adanya penyakit kelamin, scrotum normal (laki-laki).
H.    Sistem Perkemihan :
Tidak adanya perubahan pada warna urine,tidak terdapat Albumin dalam kemih (protein yang terdapat pada jaringan tubuh).


2.       DIAGNOSA KEPERAWATAN
1)      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d sekresi berlebihan sekunder akibat proses inflamasi
2)      Nyeri b/d iritasi jalan napas atas sekunder akibat infeksi.
3)      Gangguan komunikasi verbal b/d iritasi jalan napas atas akibat infeksi atau pembengkakan.
4)      Hipertermia b/d adanya pemajanan infeksi (kuman)
5)      Ansietas b/d kurang informasi tentang penyakit yang diderita dan pengobatannya.

3.      INTERVENSI
1.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d sekresi berlebihan sekunder akibat proses inflamasi
Tujuan: Potensi jalan napas dengan cairan sekret mudah dikeluarkan.

Intervensi:
1)      Tingkatkan masukan cairan. Tawarkan air hangat daripada air dingin.
R/ Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
2)      Ciptakan lingkungan yang lembab dengan vaporizer ruangan atau menghirup uap.
R/ Mengencerkan sekresi dan mengurangi inflamasi membran mukosa.
3)      Instruksikan posisi yang terbaik, mis: posisi tegak.
R/ Meningkatkan drainase dari sinus.

2.      Nyeri b/d iritasi jalan napas atas sekunder akibat infeksi.
Tujuan: Nyeri berkurang atau teratasi.

Intervensi:
1)      Kaji tingkat nyeri dengan skala 0-10.
R/ Memudahkan perawat dalam menentukan tingkat nyeri dan alat untuk evaluasi keefektifan analgesik, meningkatkan kontrol nyeri.
2)      Catat lokasi dan faktor-faktor pencetus nyeri.
R/ Membantu dalam menentukan penanganan/manajemen nyeri dan keefektifan asuhan.
3)      Sarankan pasien untuk istirahat.
R/ Membantu menghilangkan rasa tidak nyaman umum atau demam.
4)      Dorong pasien untuk menggunakan analgesik, seperti asetaminofen (Tylenol) dengan kodein, sesuai yang diresepkan.
R/ Mempertahankan kadar obat lebih konstan menghindari ‘puncak’ periode nyeri dan kenyamanan/koping emosi.

3.      Gangguan komunikasi verbal b/d iritasi jalan napas atas akibat infeksi atau pembengkakan.
Tujuan: Menyatakan kebutuhan dalam cara yang efektif.

Intervensi:
1)      Tentukan apakah pasien mempunyai gangguan komunikasi lain, contoh pendengaran, penglihatan, literasi.
R/ Adanya masalah lain akan mempengaruhi rencana untuk pilihan komunikasi.
2)      Berikan cara-cara yang cepat dan kontinu untuk memanggil perawat, contoh lampu/bel pemanggil.
R/ Pasien memerlukan keyakinan bahwa perawat waspada dan akan berespon terhadap panggilan.
3)      Berikan pilihan cara berkomunikasi yang tepat bagi kebutuhan pasien, mis:papan dan pensil, magic slate, papan alfabet/gambar, bahasa isyarat.
R/ Memungkinkan pasien untuk menyatakan kebutuhan/masalah.
4)      Instruksikan pasien untuk tidak berbicara / menghindari pembicaraan sedapat mungkin.
R/ Regangan pita suara lebih lanjut dapat menghambat pulihnya suara dengan sempurna.

4.      Hipertermia b/d adanya pemajanan infeksi (kuman)
Tujuan: Menunjukkan keseimbangan cairan dengan parameter individual yang tepat, mis: membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, tanda vital stabil.

Intervensi:
1)      Kaji perubahan tanda vital, contoh: peningkatan suhu/demam memanjang, takikardia, hipotensi ortostatik.
R/ Peningkatan suhu/memanjangnya demam meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
2)      Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
R/ Indikator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun membran mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen tambahan.
3)      Pantau masukan dan haluaran, catat warna, karakter urine. Hitung keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tak tampak.
R/ Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian.
4)      Anjurkan pasien untuk minum 2 sampai 3 liter cairan sehari (kecuali ada kontraindikasi).
R/ Pemenuhan kebutuhan dasar cairan, menurunkan risiko dehidrasi.

5.      Ansietas b/d kurang informasi tentang penyakit yang diderita dan pengobatannya.
Tujuan: Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.

Intervensi:
1)      Berikan penjelasan pada pasien tentang proses penyakitnya.
R/ Menambah pengetahuan pasien tentang penyakit yang dideritanya.
2)      Tekankan pentingnya perawatan oral / kebersihan gigi.
R/ Menurunkan pertumbuhan bakteri pada mulut, dimana dapat menimbulkan infeksi saluran napas atas.
3)      Instruksikan pasien tentang pentingnya tindakan kesehatan yang baik, diet yang bergizi, olahraga yang sesuai, istirahat serta tidur yang cukup.
R/ Mendukung daya tahan tubuh dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi pernapasan.
4)      Instruksikan pasien tentang cara mencegah infeksi silang pada anggota keluarga ataupun orang lain.
R/ Mencegah penyebaran infeksi.

4.      EVALUASI
1)      Potensi jalan napas dengan cairan sekret mudah dikeluarkan.
2)      Nyeri teratasi atau berkurang.
3)      Menyatakan kebutuhan dalam cara yang efektif.
4)      Menunjukkan keseimbangan cairan dengan parameter individual yang tepat, misalnya : membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, tanda vital stabil.
5)      Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.













DAFTAR PUSTAKA


Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8 Vol 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Charles, J.Reeves, dkk. 2001. Buku 1 Keperawatan Medikal Bedah Ed. I. Salemba Medika. Jakarta.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Ed.3.EGC. Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3 Jilid 1. Media Aesculapius. Jakarta.